Kamis, 12 April 2012

Prinsip Dasar Kekuasaan Kehakiman

oleh:budi kurniawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara negara merupakan sa­lah satu badan penyelenggara negara, di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK.[1] Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain. Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah. Sedangkan badan penyelenggara negara yang lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah. Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[2] Menurut sistem UUD 1945, fungsi kekuasaan Mahkamah Agung, ialah: a) Melakukan kekuasaan kehakiman, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi DPR berperan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Agung melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. b) Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Judisial ditentukan dalam Pasal 24B UUD 1945, sebagai berikut: 1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. 3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Implementasi Pasal 24B UUD 1945, yaitu diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.[3] Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.[4] Dari rincian fungsi masing-masing lembaga tersebut di atas dapat terlihat bahwa hubungan di antara Presiden, DPR dan Mahkamah Agung, dikembangkan secara seimbang melalui mekanisme ‘checks and balances’. Melalui mekanisme ‘checks and balances’ tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial yang tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu sama lain. Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Karenanya badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki Pasal 24 UUD 1945.[5] Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independensi kekuasaan kehakiman, telah diatur secara konstitusional dalam UUD 1945. Dari konsep negara hukum seperti yang digariskan oleh konstitusi,[6] maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif) untuk membatasi atau mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya ‘pemisahan’ kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu memberikan arti kebebasan politik sebagai “a tranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another”.[7] Kebebasan politik ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang lain di sekitarnya. Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam ‘The Spirit of The Laws’ dalam pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power), bahwa: “When the legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute than in a tyranical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression. There would be an end of everything, were to some man, or the somebody, weather of the nobbles or of the people, to the exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolution and of trying the causes of individuals.”[8] Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Tetapi dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan kewenangan masing-masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam keseimbangan (balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.[9] Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini, dapat dikatakan sebagai inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia.[10] Dengan konsep check and balances dimungkinkan adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep check and balances,[11] berkenaan dengan kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman. Meskipun UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana secara sewenang-wenang.[12] Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.[13] Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’, dan ‘International Covenant on Civil and Political Rights’,[14] yang di dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“. Di dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article 10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.[15] Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law”. Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent, tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka (public hearing). Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. Dari konsep negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General Theory of Judicial Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic and analytically useful cannot be concerned with every inside and outside influence on judges”.[16] Dalam hal hakim yang bebas dalam proses peradilan, menurut Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily ‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”.[17] Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ yudisial atau administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics” mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance of the mechanism of justice”.[18] Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam ‘De Rechtsstaat’, mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen door en onafhankelijkerechter is de basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook garanderen dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal onafhankelijke rechter over klachten van burgers dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”[19] Dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara. Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice),[20] dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice).[21] Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan. Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual konkret.[22] Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara.[23] Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah.[24] Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu: (1) Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan(distribution of power) di antara badan-badan penyelenggara negara. (2) Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat. (3) Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. (4) Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar