Kamis, 12 April 2012

Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman

oleh ;BUDI KURNIAWAN
Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 1 dijelaskan bahwa : 1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 2. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. 6. Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung. 7. Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi. 8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. 9. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undangundang. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.(Pasal 18 UU N0.48/2009) Beberapa peradilan yang berlaku dinegara kita diantaranya (Pasal 25 UU N0.48/2009) : * Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. * Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. * Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. * Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. * Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dibawah ini Peraturan Perundang-undangan dalam ruang lingkup Kekuasaan Kehakiman : 1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang dirubaha dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14/1985 Tentang Mahkamah Agung, kemudian dirubah lagi dengan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14/1985 Tentang Mahkamah Agung; 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial; 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum, kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum; 6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama, kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama; 7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 97 Tentang Peradilan Militer; dan 8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Prinsip Dasar Kekuasaan Kehakiman

oleh:budi kurniawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara negara merupakan sa­lah satu badan penyelenggara negara, di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK.[1] Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain. Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah. Sedangkan badan penyelenggara negara yang lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah. Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[2] Menurut sistem UUD 1945, fungsi kekuasaan Mahkamah Agung, ialah: a) Melakukan kekuasaan kehakiman, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi DPR berperan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Agung melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. b) Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Judisial ditentukan dalam Pasal 24B UUD 1945, sebagai berikut: 1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. 3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Implementasi Pasal 24B UUD 1945, yaitu diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.[3] Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.[4] Dari rincian fungsi masing-masing lembaga tersebut di atas dapat terlihat bahwa hubungan di antara Presiden, DPR dan Mahkamah Agung, dikembangkan secara seimbang melalui mekanisme ‘checks and balances’. Melalui mekanisme ‘checks and balances’ tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial yang tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu sama lain. Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Karenanya badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki Pasal 24 UUD 1945.[5] Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independensi kekuasaan kehakiman, telah diatur secara konstitusional dalam UUD 1945. Dari konsep negara hukum seperti yang digariskan oleh konstitusi,[6] maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif) untuk membatasi atau mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya ‘pemisahan’ kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu memberikan arti kebebasan politik sebagai “a tranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another”.[7] Kebebasan politik ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang lain di sekitarnya. Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam ‘The Spirit of The Laws’ dalam pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power), bahwa: “When the legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute than in a tyranical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression. There would be an end of everything, were to some man, or the somebody, weather of the nobbles or of the people, to the exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolution and of trying the causes of individuals.”[8] Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Tetapi dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan kewenangan masing-masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam keseimbangan (balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.[9] Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini, dapat dikatakan sebagai inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia.[10] Dengan konsep check and balances dimungkinkan adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep check and balances,[11] berkenaan dengan kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman. Meskipun UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana secara sewenang-wenang.[12] Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.[13] Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’, dan ‘International Covenant on Civil and Political Rights’,[14] yang di dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“. Di dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article 10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.[15] Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law”. Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent, tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka (public hearing). Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. Dari konsep negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General Theory of Judicial Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic and analytically useful cannot be concerned with every inside and outside influence on judges”.[16] Dalam hal hakim yang bebas dalam proses peradilan, menurut Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily ‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”.[17] Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ yudisial atau administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics” mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance of the mechanism of justice”.[18] Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam ‘De Rechtsstaat’, mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen door en onafhankelijkerechter is de basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook garanderen dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal onafhankelijke rechter over klachten van burgers dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”[19] Dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara. Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice),[20] dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice).[21] Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan. Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual konkret.[22] Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara.[23] Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah.[24] Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu: (1) Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan(distribution of power) di antara badan-badan penyelenggara negara. (2) Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat. (3) Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. (4) Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.

Rabu, 11 April 2012

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA Oleh: BUDI KURNIAWAN
Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif. Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perubahan pokok dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris, administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di bawah departemen. Selanjutnya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengubah sistem penyelenggaraan negara di bidang judikatif atau kekuasaan kehakiman sebagaimana termuat dalam BAB IX tentang KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan pula karena harus disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar sebagai peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diatur dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana terurai di bawah ini. A. Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya adalah sebagai berikut. - Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; - Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; - Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 1. Mahkamah Agung Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2 )dan pasal 24A ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam undang-undang ini mengatur tentang kedudukan, susunan, kekuasaan, hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia. Kewenangan Mahkamah Agung adalah: a. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: - permohonan kasasi; - sengketa tentang kewenangan mengadili; - permohonan peninjauan kembali. b. Menguji peraturan perundang-undangan yang di bawah undang-undang terhadap undang-undang. c. kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Terdapat pengecualian dalam pengajuan permohonan kasasi, ada perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diajukan permohonan kasasi, perkara tersebut adalah: - putusan praperadilan; - perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; - perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. Mahkamah Agung berwenang juga: - melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman; - melakukan pengawasan organisasi, administrasi badan peradilan yang ada di bawahnya; - meminta keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis peradilan dari semua badan yang berada di bawahnya; - memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan yang berada di bawahnya; - memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi; - dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan. Segala urusan organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. 2. Peradilan Umum Peradilan Umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh: - Pengadilan Negeri; - Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding, Peradilan umum sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya kecuali undang-undang menentukan lain. Pada lingkungan Peradilan Umum dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan khusus pada lingkungan Peradilan Umum antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan dan Pengadilan Hak Asasi Manusia. 3. Peradilan Agama Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang . Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta segi-segi administrasi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh: - Pengadilan Agama; - Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pegadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung. Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “antara orang yang beragama Islam ” adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infak; h. sodaqoh; i. ekonomi syari’ah. Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya. Pada lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 3A Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama dan merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum. Pengadilan Arbitrasi Syari’ah termasuk Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama. Pengadilan syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 Pengadilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Propinsi. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam BAB XVIII tentang MAHKAMAH SYAR’IYAH Pasal 128 – Pasal 137. Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di adalah: - Mahkamah Syar’iyah (Tingkat Pertama); - Mahkamah Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding); - Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi). Kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara: - ahwal syahsiyah (hukum keluarga); - muamalah (hukum perdata); - jinayah (hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qonun Aceh. 4. Peradilan Militer Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam undang-undang ini diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan, kekuasaan oditurat, hukum acara Pidana Militer, hukum acara Tata Usaha Militer, dan ketentuan-ketentuan lain. Peradilan Militer merupakan peradilan khusus bagi prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer. Pengadilan di lingkungan Peradilan militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi. Kewenangan Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Peradilan Militer adalah sebagai berikut. 1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: a. Prajurit; b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit; c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang; d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. 3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari: a. Pengadilan Militer; b. Pengadilan Militer Tinggi; c. Pengadilan Militer Utama; dan d. Pengadilan Militer Pertempuran. Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima. Apabila perlu Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama. Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah: a. prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah; b. mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; dan c. mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer. Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah sebagai berikut. Pada tingkat pertama: a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah: 1) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas; 2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” mayor ke atas; dan 3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi; b. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Pada tingkat banding: memeriksa dan memutus perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding; Pada tingkat pertama dan terakhir: memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya. Kekuasaan Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama yang dimintakan banding. Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili: a. antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan; b. antar Pengadilan Militer Tinggi; dan c. antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer. Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir perbedaan perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dengan Oditur tentang diselesaikannya suatu perkara di luar Pengadilan atau diselesaikan di Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum atau di Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer. Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap: a. penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing; b. tingkah laku dan perbuatan Hakim dalam menjalankan tugasnya. Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada Mahkamah Agung. Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran. 3. Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh: - Pengadilan Tata Usaha Negara; - Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai faktor baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan. Sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang-orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan. Yang termasuk Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata. Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut. a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia. g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama terhadap perkara yang telah digunakan upaya administratif. Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal yang disengketakan itu dikeluarkan: a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. B. Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Wacana pembentukan Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah ada pada saat pembahasan Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Prof Moh. Yamin sebagai salah satu anggota BPUPKI telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-undang, namun ide ini ditolak anggota lain yaitu Prof. R. Soepomo berdasarkan dua alasan, yaitu Undang-Undang Dasasr yang disusun pada waktu itu tidak menganut Trias Politica dan pada saat itu jumlah sarjana hukum belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal itu. Pada saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 muncul lagi pendapat pentingnya Mahkamah Konstitusi karena adanya perubahan mendasar dengan beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada supremasi hukum maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang mempunyai derajat yang sama serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya sebatas pada peraturan di bawah Undang-Undang melainkan juga atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan Undang-Undang Dasar, akhirnya pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: Pasal 24 ayat (2) Pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Kounstitusi. Pasal 24C (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Pasal III Aturan Peralihan Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya diakukan oleh Mahkamah Agung. Atas perintah Undang-Undang Dasar ini kemudian Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membahas pembentukan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Kemudian pada tanggal 13 Agustus 2003 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan disahkannya undang-undang ini maka kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan sehingga peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman harus disesuaikan yang pada akhirnya disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur tentang kedudukan dan susunan, sekretariat jenderal dan kepaniteraan, kekuasaan, pengangkatan dan pemberhentian hakim, hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang, tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden dan/atau wakil presiden. Tidak lagi memenuhi syarat presiden dan/atau wakil presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota Hakim Konstitusi. Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden yang akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang mempunyai masa jabatan 3 (tiga) tahun. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang angota hakim konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.